Selasa, 24 September 2013

Kebudayaan Di Minahasa Kota Manado

 equity word Futures, equityword Futures, equitywordFutures, pt. equity word Futures, pt equityword Futures, pt equitywordFutures, ewf news.


Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi.
Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

sebutan "Minahasa" sebenarnya berasal dari kata, Mina yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu, jadi Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu. ketika peristiwa persatuan diadakan disebut "Mahasa" yang berarti bersatu. Mahasa pertama diadakan di Watu Pinawetengan untuk pembagian wilayah pemukiman, Mahasa kedua diadakan untuk melawan ekspansi kerajaan bolaang-mongondow, Mahasa ketiga dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Walak Kakaskasen yang berkedudukan diLotta(kakaskasen, Lotta dan Tateli) dengan Bantik, yang kesemuanya berasal dari satu garis keturunan Toar-Lumimuut.

Huruf

Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.

Minahasa

 
WARANEY
Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mongondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan  nenek moyang dari Bantik subethnic.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan Bolaang Mongondow. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Bolaang Mongondow adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian dari Bolaang Mongondow di Mangket.

Kependudukan

Kebanyakan penduduk Minahasa beragama Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.

Taman Laut Bunaken

Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.

Sejarah

 
KAWASARAN
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut, pada awalnya para leluhur orang minahasa bermukim di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nietakkan (dekat tompaso baru).
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari  Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat

Prasasti Pinawetengan

 
Prasasti Pinawetengan
Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahn

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu  prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.
Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.
Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.
Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.

Pengembangan Suku {Pemekaran}

Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan, Toumbulu', Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano terdiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Telebusu (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Dalam Buku Sejarah Lengkap Minahasa oleh David DS Lumoindong dijelaskan suku Tow Bantik adalah keturunan Toar-Lumimuut yang berdiam menjaga perairan di wilayah utara di kepulauan Sangihe-Talaud, kemudian terjadi bencana alam Tsunami maka merekapun mengungsi ke daratan Sulawesi Utara di sekitar Bolaang-Mongondow, kemudian dimasa perang Minahasa melawan Bolaang-Mongondow mereka menjadi pasukan Bolaang-Mongondow menyerbu dan menduduki beberapa wilayah di Minahasa, setelah selesai perang tahun 1690 an mereka memilih tetap tinggal di Minahasa bergabung dengan suku bangsa perserikatan Minahasa.

Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat
Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Tountumaratas (TonTemboan) Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah PAKASA'AN yang beraasal dari kata ESA. PAKASAA'AN berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumoo'ong dan Sonder.
Tountewu Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni Tounsea dan Toundano. Kaum Tondano terbagi lagi menjadi dua yakni: Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Tonsawang dan Tombatu Masyarakat di sekitar danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken. Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa'an Tonsea dan Pakasa'an Tondano. Pakasa'an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni maumbi, kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.
Toumbuluk Masyarakat tombuluk sejak zaman Batu Pinawetengan abad ke–7 tetap utuh satu Pakasa'an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah WANUA berkembang menjadi dua pengertian yaitu:

Kepala Pemerintahan

Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TomBulu diantaranya :
Tonaas Wangko Muntu-Untu Tonaas Wangko Pinontoan-Lokon Tonaas Wangko Ahkaimbanua Tonaas Wangko Pukul Tonaas Wangko Rares-empung Tonaas Wangko Lumoindong, penguasa Tombulu semasa pusat pemerintahan masih di Kinilow Tua, dimasanya terjadi bencana hebat tapi oleh kebijaksanaan maka masyarakat dapat diselamatkan, itu sebabnya dimasa lalu sebuah gunung di Tomohon dimana ia tinggal dinamakan sesuai dengan namanya.
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TonTemboan diantaranya :
Tonaas Wangko Kopero pemimpin musyawarah pertama di Pinawetengan (Tompaso)

Para raja yang pernah berkuasa di Ratahan diantaranya :
Dotu Lensang Alu, Dotu Soputan, kepala walak wilayah itu. Dotu Watulumanap, Dotu Raliu abad 16 kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman. Dotu Antou, Mayor Maringka, akhir abad 18. Mayor Soputan Baca Buku : Sejarah Kerajaan dan Pemerintahan di Minahasa oleh David DS Lumoindong
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di TonSea diantaranya :
Tonaas Wangko Maramis Tonaas Wangko Dotulong dimasanya maka ia membuat surat pengakuan negara Belanda atas kepemilikannya terhadap pulau Lembeh.
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di ToLour diantaranya :
Tonaas Wangko Singal Tonaas Wangko Gerungan (Dotu Gerungan, hidup kurang lebih antara Tahun 1550-1650-an) adalah pemimpin Tondano, Bahasa Minahasa Suku Toulour/Toudano/Tondano yaitu Walak (Kepala Suku) dan Teterusan (Kepala Perang) Tondano pada masa hidupnya, dengan tujuan menjaga wilayah suku Tondano dan menghalau para musuh yang menyerang. Dotu Gerungan merupakan salah satu dari pahlawan-pahlawan atau panglima perang Minahasa yang mengalakan musuh-musuh yang menyerang tanah Minahasa

Pergerakan Mengusir Penjajahan

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol

Minahasa juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC

Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.
Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanahnya, baca buku "Para Pahlawan Perang Minahasa Lawan Belanda" oleh David DS Lumoindong. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang

Perjuangan Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Para pejuang Minahasa masuk ke pasukan Belanda untuk mempelajari segala hal demi menyusun kekuatan besar yang akhirnya dapat memenangkan perang. Di era menjelang Kemerdekaan Indonesia, gerakan perjuangan orang Minahasa telah bergerak secara nasional dengan memanfaatkan segala fasilitas Belanda dan Jepang. Orang minahasa membangun Pasukan Kristen, Perkumpulan para cendekiawan, perkumpulan budaya. Minahasa berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda, bahlan pemimpin-pemimpin pasukan belanda dipercayakan pada orang minahasa, seperti Pasukan KNIL. Jabatan yang dipegang orang Minahasa merupakan kekuatan besar yang bersatu dengan para pejuang dari daerah lainnya sehingga Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh besar yang sangat berjasa melahirkan bangsa Indonesian diantaranya Dr.G.S.J.Sam Ratulangi, A.Maramis, Kawilarang, Ventje Sumual,
Ada sebagian kecil orang Minahasa yang memakai marga Jepang karena beberapa orang Minahasa yang menikah dengan orang Jepang. Tanah Minahasa pada zaman purba disebut sebagai [Tanah Malesung] karena bentuknya seperti lesung atau tanah yang berlembah dan bergelombang. Slogan Minahasa: "Si Tou Tumou Tou" yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain, dengan slogan perjuangan "I Yayat U Santi" yang artinya maju untuk membangun negeri.

Pergerakan Mengusir Penjajahan Era Kemerdekaan

Perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan kemerdekaan. Perang 14 februari 1946.



sumber,  http://id.wikipedia.org/wiki/Minahasa

RIFAN FINANCINDO BERJANGKA CABANG MANADO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar