Selasa, 21 November 2023

Rupiah Belum Aman, Ada Bisikan Suku Bunga BI Naik Lagi

 Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengumumkan hasil rapat dewan Gubernur Bulanan Bulan Oktober 2023. (CNBC Indonesia/Maikel Jefriando)

PT. Equiyworld Futures Manado - Pelaku pasar terbelah dalam memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) bulan ini.

Mayoritas lembaga memang masih memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6,00% pada bulan ini. Namun, sebagian juga melihat ada kemungkinan BI kembali mengerek suku bunga.

BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pada Rabu dan Kamis pekan ini (22-23 November 2023).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia terbelah antara yang memperkirakan kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dan yang menahan.

Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 10 instansi/lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 6,00%. Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Tiga lembaga memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,25%.

BI secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6,00% pada Oktober 2023. Ini adalah kali pertama BI mengerek suku bunga setelah Januari 2023.

BI mengerek suku bunga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkahpre-emptivedanforward lookinguntuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation). Sebelumnya, BI menahan suku bunga acuan 5,75% sejak Februari-September 2023.

Baca Juga : Pergerakan Harga Emas Hari Ini Dipoles Suku Bunga The Fed yang Melandai

Ekonom yang memperkirakan BI akan mengerek suku bunga sebagai upaya untuk pre-emptive dan ahead the curve serta menjaga stabilitas nilai tukar.
"(Seperti) statement bulan lalu," tutur ekonom Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, kepada CNBC Indonesia.

Nilai tukar rupiah sebenarnya menguat sangat tajam yakni sekitar 2,8% sepanjang November ini. Namun, rupiah masih rentan jika ada perubahan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).

Kekhawatiran tersebut terjadi hari ini. Rupiah langsung jeblok 0,87% pada awal perdagangan hari ini, Rabu (22/11/2203) setelah rilis risalah Federal Open Market Committee (FOMC).
The Fed merilis risalah untuk pertemuan FOMC pada Oktober lalu pada Selasa waktu AS atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Risalah FOMC menunjukkan jika pejabat The Fed akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga. Mereka juga mengisyaratkan hanya akan menaikkan suku bunga jika upaya untuk mengendalikan inflasi goyah.

Tidak hanya itu, dasar pertimbangan akan menunjukkan sedikit perubahan dari obsesi mengendalikan inflasi hingga 2% menjadi menahan suku bunga acuan tetap stabil, khususnya jika tidak ada kejutan kenaikan harga signifikan.

"Seluruh partisipan sepakat Komite ada di posisi untuk memproses (kebijakan) secara hati-hati. Kebijakan akan diputuskan berdasarkan informasi yang berkembang dan dampaknya kepada ekonomi," tulis risalah FOMC, dikutip dari website resmi The Fed.
Risalah tersebut menambahkan jika anggota komite tetap mempertimbangkan untuk mengetatkan kebijakan moneter jika data yang berkembang menunjukkan target The fed dalam menekan inflasi tak memadai.

Selain kebijakan The Fed yang belum dovish, defisit pada transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga bisa membebani rupiah ke depan.

Seperti diketahui, neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2023 menorehkan defisit senilai US$900 juta atau sekitar Rp 3, 91 triliun (US$ 1=Rp 15.450). Nilai tersebut setara dengan 0,25% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini jauh menurun dibandingkan dengan defisit US$ 2,2 miliar (Rp 33,9 triliun) atau 0,63% dari PDB pada triwulan sebelumnya.

Defisit transaksi berjalan ini merupakan untuk kedua kalinya yang terjadi secara beruntun yang juga sempat terjadi pada kuartal I dan kuartal II-2021 atau dua tahun yang lalu.

Selain transaksi berjalan, Transaksi finansial juga masih mencatat defisit sebesar US$ 290 juta pada Juli-September 2023 karena membengkaknya defisit pada investasi portofolio.

Investasi portofolio yang mencatat investasi di pasar keuangan seperti saham dan obligasi tercatat defisit defisit sebesar US$ 3,13 miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal II-2023 yang tercatat sebesar US$ 2,63 miliar.

Besarnya defisit pada transaksi finansial ini mencerminkan banyaknya investor asing yag kabur dari pasar keuangan Indonesia pada Juli-September 2023.

Defisit pada transaksi berjalan dan finansial membuat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III-2023 tercatat defisit US$1,5 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya sebesar US$7,4 miliar.

Sementara itu, ekonom yang memperkirakan BI menahan suku bunga menjelaskan tekanan eksternal sudah mulai mereda. Kondisi ini akan membantu rupiah menguat.

Melandainya inflasi AS dan Indonesia menjadi faktor penting dalam keputusan suku bunga BI. Inflasi AS melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023. Melandainya inflasi AS membuat pelaku pasar optimis The Fed tak akan lagi mengerek suku bunga.

Sementara itu, inflasi Indonesia melandai ke 2,56% (yoy), ada di batas bawah target sasaran BI di 2-4%.
"BI akan menahan suku bunga ditopang oleh perkembangan terbaru dari eksternal. Inflasi AS melandai dan data tenaga kerja juga mendingin. Ini akan membuat pasar keuangan lebih stabil," tutur ekonom Bank Permata Josua Pardede, kepada CNBC Indonesia.

Josua menambahkan nilai tukar dalam tren penguatan sementara imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) juga sudah melandai yang menunjukkan tekanan eksternal melandai. Josua bahkan memperkirakan BI akan memangkas suku bunga pada semester II-2024 sejalan dengan penguatan rupiah, derasnya inflow, serta kebijakan The Fed yang lebih dovish.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar