Senin, 13 November 2023

Inflasi AS Diperkirakan Melandai, Rupiah Menguat

Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

PT. Equityworld Futures Manado - Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah ekspektasi inflasi AS lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya secara tahunan.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat tipis di angka Rp15.690/US$ atau terapresiasi 0,03%. Penguatan ini mematahkan tren pelemahan yang terjadi selama lima hari beruntun.

Sementara indeks dolar AS (DXY) pada pukul 08.59 WIB naik tipis 0,05% menjadi 105,69. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan Senin (13/11/2023) yang berada di angka 105,63.

Pada hari ini (14/11/2023), AS akan merilis data inflasi periode Oktober 2023. Pelaku pasar memperkirakan inflasi AS akan melandai ke 3,3% (year on year/yoy) pada Oktober 2023 tetapi inflasi inti akan tetap berada di angka 4,1%. Inflasi melandai sebagian besar disebabkan oleh moderasi harga energi.

Baca Juga : Inflasi AS Belum Ketahuan, Pemilik Emas Sudah Pesta Duluan

Sementara inflasi inti secara tahunan diekspektasikan masih sama dengan periode sebelumnya yakni di angka 4,1%. Begitu pula dengan inflasi inti secara bulanan yang diproyeksikan masih di angka 0,3%.

Jika penurunan inflasi secara tahunan terjadi, maka hal ini menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan global karena kemungkinan bank sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunganya akan mengecil mengingat inflasi sudah mulai mampu ditekan meskipun masih jauh dari target 2%.

Kendati inflasi diproyeksikan turun, namun tekanan terhadap rupiah masih ada khususnya perkiraan ekonomi indonesia yang hanya tumbuh 5,01% pada 2023 menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.

"Perkiraan kami masih bisa diasumsi prognosa Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) adalah 5,01%," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (13/11/2023).

Perlambatan ekonomi domestik ini salah satunya disebabkan daya beli masyarakat yang mulai tertekan. Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2023 hanya sebesar 5,06% dari kuartal II yang mampu tumbuh hingga 5,22%. Perlambatan tercermin dari ambruknya penjualan mobil, ritel, hingga kredit perbankan.

Lebih lanjut, Perry pun mengatakan bahwa potensi tekanan terhadap rupiah masih akan terus tinggi bahkan dalam jangka waktu panjang.

Menurut Perry, kondisi tersebut dipicu oleh munculnya fenomena baru, yakni term premia atau meningkat tingginya bunga US Treasury karena membengkaknya utang pemerintah AS untuk kebutuhan pemulihan Covid-19 dan pembiayaan perang.

Akibat kondisi ini ia mengatakan, aliran modal dari negara-negara berkembang atau emerging market terus keluar menuju aset-aset likuid di negara maju, terutama dolar AS. Kondisi ini menyebabkan fenomena strong dollar.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar