Menurut Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), tax amnesty diperkirakan mampu menarik ratusan triliun dana dari luar negeri.
"Saya hitung Rp 500 triliun. Itu sudah cukup, kalau kebanyakan nanti pasar finansial kita nggak bisa nampung," ujar Prastowo kepada detikFinance, Senin (26/2/2016).
Dalam kebijakan tax amnesty ini pemerintah mengatur 2 opsi tarif tebusan bagi mereka yang mengajukan pengampunan pajak. Pertama, tarif 1%, 2%, atau 3% dari selisih harta penunggak pajak yang mau menarik dana mereka dari luar negeri ke Indonesia (repatriasi).
Kedua, jika penunggak pajak itu hanya melaporkan hartanya saja, namun menolak repatriasi, maka tarif tebusan yang dikenakan sebesar 2%, 4%, atau 6%.
Prastowo mengatakan, opsi tarif tebusan ini bisa menarik para wajib pajak merepatriasi dana mereka dari luar negeri ke Indonesia.
"Mereka bisa declare dana itu dari utang menjadi modal. Dana itu bisa leluasa diinvestasikan di Indonesia tanpa ancaman pidana dan akan berkontribusi positif kepada perekonomian," kata Prastowo.
Namun, untuk merepatriasi seluruh dana mereka di luar negeri belum tentu sepenuhnya bisa dilakukan. Sebab, para pengusaha yang memarkir dana mereka di luar negeri akan memperhitungakan sejumlah faktor misalnya kemudahan bisnis di Indonesia, kepastian hukum, serta situasi politik yang kondusif.
Selain itu, repatriasi belum tentu bisa dilakukan karena mereka sudah memakai sebagian dananya untuk membeli aset tidak bergerak seperti properti dan tanah.
"Sebagian tidak berupa aset likuid karena ada barang-barang tidak bergerak yang tidak bisa dipindahkan. Itu yang menjadi problem karena sudah lama, turun temurun di luar negeri," kata Prastowo.
sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar